Xtraordinary-, Memang benar, ada ancaman pidana 5 tahun penjara bagi orang yang melakukan perkawinan, padahal dia tau bahwa dia masih terikat dalam perkawinan lain sebelumnya. Dan ancaman itu ditingkatkan menjadi pidana penjara 7 tahun, apabila dia menyembunyikan status perkawinan sebelumnya tersebut kepada pasangannya di perkawinan yang baru.

Itu semua ada di KUH Pidana, pasal 279 ayat 1 dan 2. Jadi, ada ancaman hukuman pidana yang cukup berat bagi WNI yang melakukan perkawinan, padahal dia masih terikat dengan perkawinan sebelumnya.

Akan tetapi sebagai orang hukum, saya musti melihat, apa sih yang dimaksud dengan “perkawinan” menurut KUH Pidana pasal 279 tersebut. Orang awam mungkin bisa dengan mudah membaca apa isi undang-undang, tapi butuh orang hukum untuk bisa memahami apa maksud dari isi undang-undang tersebut.

Orang awam mungkin menyangka bahwa “kawin siri” sudah bisa dikategorikan sebagai “perkawinan” yang dimaksud oleh pasal 279 KUH Pidana.

Tapi orang hukum tidak bisa begitu. Orang hukum harus melihat bahwa “perkawinan” yang dimaksud dalam pasal 279 KUH Pidana, haruslah sesuai dengan makna perkawinan seperti yang dijelaskan dalam Undang Undang Tentang Perkawinan (UU nomor 1 tahun 74).

Yaitu perkawinan yang dicatatkan secara resmi ke KUA bagi pemeluk agama Islam

Itu lah perkawinan yang dimaksud oleh pasal 279 KUH Pidana. Selain itu, bukanlah perkawinan. Lagj pula, ada aturan lain di luar KUH Pidana yang mengatur lebih jelas tentang “kawin siri”.

Itu ada di Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan UU Perkawinan (PP no. 9 tahun 75), yang tidak hanya menerangkan, tapi sekaligus memberi ancaman sanksi bagi para pelaku “kawin siri”.

PP tersebut menjelaskan bahwa “kawin siri” adalah sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA atau Kantor Catatan Sipil. Dan itu ada ancaman sanksinya. Jadi, wajar saja apabila ada laporan polisi mengenai kawin siri. Karena melapor ke polisi itu adalah hak setiap warga negara, maka polisi wajib menerima laporan tersebut.